Akhir-akhir ini saya sedang gemar membaca kembali literatur mengenai cerita pewayangan.
Mahabaratha, Ramayana, semua kisah yang didongengkan Mbah Kakung sebelum tidur, kembali saya lahap melalui situs-situs di internet dan buku-buku seadanya dari Gramedia Pangkalpinang (D'oh!).
Beberapa hal menarik dari cerita melegenda tersebut yang menggugah sebuah diskusi dengan teman Bali saya..
Menurut saya, cerita pewayangan, baik yang masih asli dari India maupun yang digubah dengan kreatif oleh para Mpu Nusantara, memiliki kekayaan toleransi yang, setidaknya menurut saya "politically correct!".
Coba bayangkan, literatur mana di seluruh dunia, yang bisa sebegitu berbesar hati mengangkat isu feminisme seperti kisah Dropadi, atau isu transgender dalam kisah Srikandi.
Dibandingkan dengan Sastra Inggris yang saya pelajari saat kuliah, sejak jaman Anglo Saxon hingga Rennaisance, rasanya tema cerita mereka ya itu-itu saja, konflik antarkelas, dan persamaan hak (tapi hak yang mana), toh isu persamaan gender setahu saya baru gencar diangkat pada tahun 20an saat era Jazz dalam sastra.
Selain itu, teman saya menambahi, cerita pewayangan mengajari kita untuk berpikir positif, berbaik sangka-lah istilahnya. Karena tidak ada orang yang jahat atau baik, semua karena keadaan.
Menurutku benar juga, Kurawa tidak selalu lebih baik dari Pandawa, Sri Rama tidak selalu benar dalam mengambil keputusan.
Semua hal buruk di dunia terjadi karena kemalangan. Beberapa orang mau "nrimo" beberapa lainnya tidak, dan penolakan itu kadang-kadang menyakiti orang lain.
Lalu sekarang saya bertanya pada diri sendiri.. kemana saja saya selama ini? Saat Mbah Kakung mengajak nonton wayang di gedung kesenian atau di alun-alun kota, saya selalu merengek minta pulang atau malah tertidur kebosanan.
Yeah, mungkin karena saat itu saya memang gak mudheng dengan bahasa sang dalang yang menggunakan bahasa "jawa jekek". Atau saya masih terlalu kecil untuk berpusing-pusing memikirkan diksi rumit dan suara yang dipanjang-panjangkan.
Lalu saat dewasa, saya malah kesengsem dengan langgam-langgam Shakespeare atau torehan ketidakpuasan Jane Austen akan kondisi sosial di era sebelum Romantisme.
Beberapa waktu lalu, saya malah terpesona dengan puisi-puisi Sylvia Plath atau Jack Kerouac yang kelam dan "bengal".
Tapi sekarang saatnya kembali mencintai negeri.. kisah cinta Bisma dan Amba atau Kresna dan Rukmini begitu jauh lebih baik dari pada serial Twilight!
No comments:
Post a Comment
If you have any ideas about the post above, please leave comment^^ I'd be very appreciative